Currently, the references we publish are in-print and switch to e-books in 2025. The latest references include

[Saat ini, referensi yang kami terbitkan adalah in-print dan beralih ke e-book pada 2025. Referensi terbaru antara lain]:

Buku yang terbit pada 2021 ini mengurai tentang kedudukan tanah ulayat (komunal) pada etnik Simalungun. Ditulis berdasar hasil penelitian tahun 1984. Sebelum kolonialisme, tanah-tanah di Simalungun mencerminkan ulayat (komunal) berdasar klan (marga). Namun, pada era kolonial, lebih khusus di Simalungun bagian bawah, mulai dari Merek Raya hingga Pamatangsiantar ke Tanahjawa dan Dologsilou dikonsesikan traditional ruler ke pengusaha asing. Pasca kemerdekaan, khususnya pada 1958-1962, tanah konsesi beralih ke negara. Periode kolonialisme dan kemerdekaan menjadi faktor “seolah-olah” etnik Simalungun di Sumatra Utara tidak memiliki tanah ulayat.

Buku yang terbit pada 2021 ini mengurai tentang tinuktuk atau siralada, ramuan tradisional (traditional concoction) di Simalungun berupa (1) tinuktuk sambal tawar untuk menambah stamina, dan (2) tinuktuk paranggietek yang di konsumsi selama dan pasca nifas. Namun, tinuktuk tidak hanya dikonsumsi ibu melahirkan, melainkan semua usia dan jenis kelamin. Berdasar pengalaman sosial, tinuktuk  dipercaya dan diyakini bermanfaat dan berkhasiat obat bagi kesehatan, antara lain: (1) meningkatkan daya tahan tubuh, (2) melindungi dari masuk angin, (3) menghangatkan tubuh, (4) membersihkan darah kotor pasca melahirkan dan menstruasi, (5) meningkatkan ASI bagi ibu menyusui, (6) menambah selera makan, (7) memperlancar peredaran darah, dan (8) menambah kebugaran tubuh. Ramuan traditional tinuktuk menggunakan 18 spesies tumbuhan khas yang memanfaatkan rimpang, umbi, daun, biji, buah, maupun tangkai.

Buku yang terbit pada 2020 ini mengurai tentang kebangkitan Pematangsiantar, salah satu Kota Perkebunan (plantation city) di Provinsi Sumatra Utara. Di era kolonial, kehadiran kota Pematangsiantar di Sumatera Utara (dahulu disebut Sumatera Timur) adalah peranannya sebagai sebagai salah satu pilar utama wilayah perkebunan Sumatera Timur (cultuurgebied van Sumatera Ooskust). Adapun komoditas utama perkebunan di sekitar Pematangsiantar adalah: Teh (1908), Karet (1911), Kopi (1914), Kelapa Sawit (1924) dan Sisal (1924). Municipal code (penataan kota di era kolonial) berdampak pada kemunculan Pematangsiantar sebagai Kota Satelit (satellite city) yang turut mendukung perkembangan pesat kawasan pantai timur Sumatera (Sumatera Ooskust).